Monday 27 November 2006


cover design: Fahrul Amama

…dan Setahun Pun Berlalu

Sepotong senja

Menutup perlahan lembarannya

Jatuh di belakangku, di balik hariku

Aku hanya membiarkannya

Tak kutemui bulatan merah menyala

Terhalang rimbun belantara

Hanya sinar redup di balik mega

Dan aku membiarkannya

Gelombang menghempas semakin keras

Meninggalkan buih di pasir putih

Menjilati jari kaki

Aku hanya berdiri tegak, membiarkannya

Senja menghilang di cakrawala

Meninggalkan malam yang makin kelam

Dan setahun pun berlalu

Aku pun membiarkannya

Dengan alkohol, nikotin dan kafein

Kumulai lagi yang baru, tanpa haru

Dan aku membiarkannya tetap begitu

Membiarkannya, selalu

Membiarkannya, dari waktu ke waktu

(Tangkoko, 96-97)

Hingga Tak Terhingga

Biarkan tubuhku membeku,

memberi jalan kepada waktu

Sebelum dia melambung, menyalibku

Darah yang lelah mengalir

keluar lewat luka berbau anyir

Menghitung detak jantung, terkurung

Hingga tak terhingga

Bilangan angka yang terlupa

Membuatku pulas di ranjang duka

Biarkan tubuhku membeku,

mengitari bumi menghindari mentari

Sebelum sinarnya melumerkan nurani

Membutakan mata hati

Membangunkan kita setiap pagi

berhamburan mengikuti rotasi

Hingga tak terhingga

Bilangan angka yang terlupa

Membawaku lena di sel penjara

Biarkan tubuhku membeku,

menanti generasi baru

Sebelum lukaku membiru

Untuk apa bertamu ke masa lalu

Biarkan hilang, biarkan punah

Menatap butir-butir jam pasir

Hingga tak terhingga

Bilangan angka yang terlupa

Mengantar rinduku ke dalam pusara

Manado, Maret 1998

Surat Kabar Kehidupan

Hari ini,

Kubaca lagi surat kabar kehidupan

Kubuka lagi halaman zaman

Di kolom-kolom penderitaan

Kueja lagi sebaris kata, kekuasaan

Kulihat foto mahasiswa di tangga gedung MPR

Di bawah tanggal dan harga eceran

“Seorang polisi tewas di Bogor”

Soeharto dan Habibi di depan tangga pesawat

Bersalaman dengan senyuman

Kubaca lagi laporan lengkap anggota dewan

Ya, “Bola itu bernama reformasi”

Dan anggota dewan menangkap dengan gagap

Agenda perubahan hanyalah tambahan pekerjaan

Selain membahas masalah kenaikan-kenaikan

Kucermati lagi sosok pendiri, pemimpin umum

dan pemimpin redaksi

Tak ada satu pun yang diganti

Hanya staf promosi, sirkulasi dan distribusi

Tiada lagi surat pembaca

Mereka bosan berlangganan kebohongan

Dengan baris-baris iklan tentang perubahan

Dan sajian khusus kerusuhan

Dan liputan kekerasan

Kubentangkan lembaran koran kehidupan

Di halaman tengah reportase zaman

Kutemui kolom-kolom tajuk penderitaan

Hukum yang dikangkangi penguasa

Wartawan yang dianiaya

Lahan petani yang diserang hama

Empat juta tenaga terdidik tanpa kerja

Harga-harga yang tak terhingga

Seperti membaca menu sajian di rumah makan

Rubrik tips dan wawancara

Menjadi tak berguna

Seperti salinan resep dari dokter keluarga

Untuk penyakit bawaan yang menahun

Kusembunyikan wajah duka ku

Di halaman cerpen, sajak dan esai kehidupan

Tak ada berita olahraga

Tentang thomas cup, uber cup, atau piala dunia

Kulewatkan begitu saja halaman terakhir

Lalu kulemparkan koran enambelas halaman

Di atas tumpukan sejarah zaman

Hari ini,

Kubaca lagi kamus kehidupan

Kubuka lagi ensiklopedi zaman

Di pustaka-pustaka penderitaan

Kucari sebaris kata, kemerdekaan.

Manado, Mei 1998

Puisi Diam

Kadang mulut kehilangan lidah

Kadang lidah kehilangan kata

Kadang kata kehilangan makna

Kadang makna kehilangan nuansa

Kadang,

Diam memiliki segalanya

Ketika mulut kehilangan lidah

Aku bicara tanpa suara

Ketika lidah kehilangan kata

Aku menggeram dalam diam

Aku bacakan puisi lewat ekspresi

Ku bernyanyi dalam sunyi

Dalam diam ku kemukakan

Segala hal yang dilarang dikemukakan

Dalam diam ku kembangkan

Pikiran yang sekian lama diendapkan

Ku bayangkan keadaan yang takkan sanggup mereka bayangkan

Ku impikan masa depan tentang tabu yang tak boleh diimpikan

Tentang kemerdekaan berserikat

Tentang kebebasan berpendapat

Tentang demokratisasi

Tentang reformasi

Tentang revolusi

Tentang masa depan negeri ini

Tetapi, kita tak bisa terus diam saja, kawan!

Manado, Mei 1998

Surat Untuk Bapak Presiden

Aku putar lagu "Dear Mr. President" dari kelompok "Four Non Blondes", dan aku tuliskan surat ini kepada kamu:

Yang terhormat,

Bapak Presiden

Kamu menggunakan dana reboisasi untuk pembangunan industri pesawat terbang nusantara.

Kamu tidak menghentikan kebakaran hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Irian dan Sulawesi.

Kamu tidak peduli dengan kelestarian lingkungan.

Kamu tidak memiliki kemauan politik untuk upaya konservasi.

Kamu tidak berbuat apa-apa demi perlindungan alam.

Dengan kata lain, terkutuklah kamu Bapak Presiden!

Salam Lestari,

Manado, 1997

R e k l a m a s i

Kami, konsorsium Indonesia, dengan ini mencanangkan reklamasi di seluruh garis pantai Sulawesi Utara.

Hal-hal seperti analisis mengenai dampak lingkungan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seadanya, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Manado, 17 Agustus 1997

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,

Konsorsium Indonesia